Bupati Asahan dan Akademisi Bahas Arah Baru Demokrasi Lokal

Bupati Asahan, Taufik Zainal Abidin Siregar bersama Rektor UNA Prof Dr Mangaraja Manurung saat acara diskusi panel “Arah Baru Demokrasi dan Tantangannya bagi Politik Daerah”.(Ersyah/S)

ASAHAN.Ersyah.com l Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal mendapat tanggapan serius di daerah. Pemerintah Kabupaten Asahan melalui Bupati Taufik Zainal Abidin Siregar bersama tokoh legislatif, akademisi dan pengawas pemilu membedah implikasi kebijakan tersebut dalam Diskusi Panel bertema “Arah Baru Demokrasi dan Tantangannya bagi Politik Daerah”, Selasa (29/7/2025) di Aula Zulfirman Universitas Asahan.

Diskusi yang diselenggarakan DemokraSI Sumber Daya Insani (Demokrasi) Kabupaten Asahan itu menghadirkan lima narasumber lintas sektor dan dihadiri unsur Forkopimda, Bawaslu, partai politik, camat, lurah, mahasiswa, hingga pengamat politik.

Bupati Asahan, Taufik Zainal Abidin, menyambut positif pemisahan pemilu nasional dan lokal. Ia menilai keputusan MK sebagai peluang untuk mengharmonisasikan program pusat dan daerah secara lebih strategis.

“Selama ini sering kali kepala daerah kesulitan menyelaraskan visi misi dengan presiden karena masa jabatan tidak sejalan. Dengan pemilu terpisah, sinkronisasi bisa lebih ideal dan efektif,”ucapnya.

Namun ia juga mengingatkan tentang tantangan teknis, termasuk potensi kekosongan legislatif jika DPRD berakhir masa tugas sebelum Pilkada digelar.

Ketua DPRD Kabupaten Asahan, H. Efi Irwansyah Pane, menilai kebijakan itu bisa menguatkan kohesi antara eksekutif dan legislatif daerah, karena tidak lagi “terseret” suhu politik nasional.

“Eksekutif dan legislatif di daerah bisa lebih fokus dan solid. Tapi kita juga harus waspada terhadap potensi meningkatnya ego sektoral di tingkat daerah,”ujarnya.

Keynote speaker, Rektor Universitas Asahan Assoc, Prof. Dr. Mangaraja Manurung menyebut, pemisahan pemilu bukan hanya teknis, tetapi menyangkut substansi demokrasi dan filosofi kedaulatan rakyat.

“Demokrasi bukan hanya soal memilih, tapi memberi ruang yang adil. Prinsip subsidiarity menekankan bahwa keputusan sebaiknya diambil sedekat mungkin dengan rakyat yang terdampak,”jelasnya.

Ia menyoroti pentingnya penguatan KPU dan Bawaslu daerah, pendidikan politik berbasis komunitas serta digitalisasi sistem pemilu agar pemisahan tak hanya menjadi formalitas.

Pengamat politik Dadang Darmawan Pasaribu mengkritisi bahwa pemisahan pemilu belum tentu menjawab problem mendasar demokrasi Indonesia.

“Masalah kita bukan semata waktu pelaksanaan. Demokrasi bisa saja tetap stagnan kalau sistem dan partisipasinya tidak diperbaiki,” katanya.

Ia bahkan mengusulkan agar masa jabatan kepala daerah diperpanjang demi efisiensi dan stabilitas pemerintahan.

Dadang juga mengingatkan tentang biaya negara berpotensi membengkak, meskipun beban kerja penyelenggara bisa lebih ringan.

Komisioner Bawaslu Asahan, Khomaidi Hambali Siambaton, menegaskan perlunya sistem pemilu yang matang dan efisien.

“Regulasi kita belum sampai ke titik ideal. Harus ada sistem yang menjawab dinamika politik dan menekan beban anggaran tinggi,” ucapnya.

Diskusi digelar sebagai langkah awal menyambut pemilu nasional tahun 2029 dan pemilu lokal tahun 2031 yang akan digelar secara terpisah.

Para narasumber sepakat bahwa pemisahan pemilu dapat membuka ruang bagi kualitas demokrasi lokal yang lebih baik,namun hanya jika dijalankan secara partisipatif, transparan, dan dengan sistem yang adil.

Acara ditutup dengan penyerahan penghargaan kepada para narasumber.(S/red01)

iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *